Simbol
khas Bukittinggi dan Sumatera Barat ini memiliki cerita dan keunikan
dalam perjalanan sejarahnya. Hal tersebut dapat ditelusuri dari
ornamen pada Jam Gadang. Pada masa penjajahan Belanda, ornamen jam ini
berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan.
Pada masa penjajahan Jepang , ornamen jam berubah menjadi
klenteng. Sedangkan pada masa setelah kemerdekaan, bentuknya
ornamennya kembali berubah dengan bentuk gonjong rumah adat
Minangkabau .
Angka-angka pada jam tersebut juga memiliki keunikan. Angka
empat pada angka Romawi biasanya tertulis dengan IV, namun di Jam
Gadang tertera dengan IIII.
Dari menara Jam Gadang, para wisatawan bisa melihat panorama
kota Bukittinggi yang terdiri dari bukit, lembah dan bangunan berjejer
di tengah kota yang sayang untuk dilewatkan.
Saat dibangun biaya seluruhnya mencapai 3.000 Gulden dengan
penyesuaian dan renovasi dari waktu ke waktu. Saat jaman Belanda dan
pertama kali dibangun atapnya berbentuk bulat dan diatasnya berdiri
patung ayam jantan.
Sedangkan saat masa jepang berubah lagi dengan berbentuk
klenteng dan ketika Indonesia Merdeka berubah menjadi rumah adat
Minangkabau.
Setiap hari ratusan warga berusaha di lokasi Jam Gadang. Ada
yang menjadi fotografer amatiran, ada yang berjualan balon, bahkan
mencari muatan oto (kendaraan umum) untuk dibawa ke lokasi wisata
lainnya di Bukittinggi.
“Jam Gadang ini selalu membawa berkah buat kami yang tiap
hari bekerja sebagai tukang foto dan penjual balon di sini. Itu
sebabnya jam ini menjadi jam kebesaran warga Minang,” ujar Afrizal,
salah seorang tukang potret amatir di sekitar Jam Gadang.
Untuk mencapai lokasi ini, para wisatawan dapat menggunakan
jalur darat. Dari kota Padang ke Bukittinggi, perjalanan dapat
ditempuh selama lebih kurang 2 jam perjalanan menggunakan angkutan
umum. Setelah sampai di kota Bukittinggi, perjalanan bisa dilanjutkan
dengan menggunakan angkutan kota ke lokasi Jam Gadang.
Lebih Jauh Tentang Jam Gadang:
Sepintas, mungkin tidak ada keanehan pada
bangunan jam setinggi 26 meter tersebut. Apalagi jika diperhatikan
bentuknya, karena Jam Gadang hanya berwujud bulat dengan diameter 80
sentimeter, di topang basement
dasar seukuran 13 x 4 meter, ibarat sebuah tugu atau monumen. Oleh karena ukuran jam yang lain dari kebiasaan ini, maka sangat cocok dengan sebutan Jam Gadang yang berarti jam besar.
Bahkan tidak ada hal yang aneh ketika melihat angka Romawi di
Jam Gadang. Tapi coba lebih teliti lagi pada angka Romawi keempat.
Terlihat ada sesuatu yang tampaknya menyimpang dari pakem. Mestinya,
menulis angka Romawi empat dengan simbol IV. Tapi di Jam Gadang malah
dibuat menjadi angka satu yang berjajar empat buah (IIII). Penulisan
yang diluar patron angka romawi tersebut hingga saat ini masih
diliputi misteri.
Tapi uniknya, keganjilan pada penulisan angka tersebut malah
membuat Jam Gadang menjadi lebih “menantang” dan menggugah tanda tanya
setiap orang yang (kebetulan) mengetahuinya dan memperhatikannya.
Bahkan uniknya lagi, kadang muncul pertanyaan apakah ini sebuah patron
lama dan kuno atau kesalahan serta atau atau yang
lainnya. Dari beragam informasi ditengah masyarakat, angka empat aneh tersebut ada yang mengartikan sebagai penunjuk jumlah korban yang menjadi tumbal ketika pembangunan. Atau ada pula yang mengartikan, empat orang tukang pekerja bangunan pembuatan Jam Gadang meninggal setelah jam tersebut selesai. Masuk akal juga, karena jam tersebut diantaranya dibuat dari bahan semen putih dicampur putih telur.
Jika dikaji apabila terdapat kesalahan membuat angka IV,
tentu masih ada kemungkinan dari deretan daftar misteri. Tapi
setidaknya hal ini tampaknya perlu dikesampingkan.
Sebagai jam hadiah dari Ratu Belanda kepada controleur (sekretaris kota), dan dibuat ahli jam negeri Paman Sam Amerika, kemungkinan kekeliruan sangat kecil. Tapi biarkan saja misteri tersebut dengan berbagai kerahasiaannya.
Namun yang patut diketahui lagi, mesin Jam Gadang diyakini
juga hanya ada dua di dunia. Kembarannya tentu saja yang saat ini
terpasang di Big Ben, Inggris. Mesin yang bekerja secara manual
tersebut oleh pembuatnya, Forman (seorang bangsawan terkenal) diberi
nama Brixlion.
Sekarang balik lagi ke angka Romawi empat, apakah pembuatan
angka empat yang aneh itu disengaja oleh pembuatnya, juga tidak ada
yang tahu. Tapi yang juga patut dicatat, bahwa Jam Gadang ini
peletakan batu pertamanya dilakukan oleh seorang anak berusia enam
tahun, putra pertama Rook Maker yang menjabat controleur Belanda di
Bukittinggi ketika itu.
Ketika masih dalam masa penjajahan Belanda, bagian puncak Jam
Gadang terpasang dengan megahnya patung seekor ayam jantan. Namun
saat Belanda kalah dan terjadi pergantian kolonialis di Indonesia
kepada Jepang, bagian atas tersebut diganti dengan bentuk klenteng.
Lebih jauh lagi ketika masa kemerdekaan, bagian atas klenteng
diturunkan diganti gaya atap bagonjong rumah adat Minangkabau.
Sungguh aneh memang …. sampai skarang angka romawi IV nya jadi IIII
0 komentar:
Posting Komentar